Manajemen yang tepat oleh ahli medis mampu mengatasi nyeri kanker dengan baik dan meminimalisasi efek samping. Upaya ini juga jadi cara untuk membantu pasien menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih nyaman dan bermakna.

Sayangnya, masih banyak ketakutan yang muncul jika berbicara soal kanker, terutama soal nyerinya. Sehingga muncul banyak pertanyaan tentang nyeri kanker. Setidaknya ada 5 pertanyaan umum yang kerap muncul tentang hal tersebut.

Terkait itu, dr Kok Jaan Yang sebagai konsultan senior pengobatan paliatif memiliki jawaban atas 5 pertanyaan umum tentang hal tersebut.

1. Apa penyebab nyeri kanker?

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan paling umum dan sering muncul. Menurut dr Kok, nyeri tersebut pada umumnya disebabkan oleh kanker yang menyerang dan merusak sekitar jaringan atau organ tubuh. Namun, tidak semua rasa sakit yang dialami pasien kanker stadium lanjut secara langsung disebabkan oleh kanker.

Diperkirakan 5-10 persen rasa sakit pada pasien kanker disebabkan oleh pengobatan kanker (misalnya, nyeri ulkus mulut setelah kemoterapi tertentu) dan hingga 20 persen rasa sakit mungkin tidak berhubungan dengan kanker yang diidapnya (misalnya osteoarthritis lutut).

2. Apakah semua pasien kanker menderita nyeri parah?

Tidak. Tidak semua pasien kanker mengalami nyeri kanker yang parah. Hingga 25 persen pasien kanker stadium lanjut mungkin tidak mengalami nyeri sama sekali, sementara sekitar 50 persen mungkin mengalami nyeri ringan hingga sedang.

Hanya sekitar 25 persen yang mengalami nyeri parah, di mana 5 persen di antaranya akan sangat parah.

3. Bagaimana mengelola nyeri akibat kanker?

Ahli onkologi medis yang mengelola perawatan Anda akan menilai penyebabnya. Jika penyebabnya adalah massa tumor dan dapat menyusut, maka cara melalui radiasi, kemoterapi atau pengobatan anti-kanker lainnya dapat menjadi solusi.

Beberapa obat penghilang rasa sakit juga bisa membantu menghilangkan rasa sakit. Contohnya, parasetamol, obat antiinflamasi nonsteroid (misalnya diklofenak, naproxen, etoricoxib, atau celecoxib), dan opioid dosis rendah (misalnya tramadol).

Dalam kasus nyeri yang parah pada pasien, opioid kuat seperti morfin, oksikodon, atau fentanil dapat digunakan untuk mengendalikan rasa sakit. Pasien kanker yang mengalami nyeri neuropatik atau saraf juga dapat diresepkan obat tambahan lain seperti pregabalin atau gabapentin.

Baca juga: 

4. Apakah mengonsumsi morfin atau opioid kuat lainnya dapat menyebabkan kecanduan?

Mengonsumsi morfin atau opioid kuat lainnya untuk mengendalikan rasa sakit bukanlah kecanduan. Di Singapura, pasien menggunakan morfin atau opioid kuat. Penggunaannya diketahui dan diawasi oleh dokter berpengalaman. Sehingga, tidak menyebabkan masalah kecanduan.

Nyeri dapat dikurangi dengan cara lain misalnya terapi radiasi untuk kanker tulang. Hal ini untuk mengurangi dosis morfin atau opioid kuat secara signifikan atau bahkan dihentikan.

5. Haruskah saya khawatir tentang efek samping morfin atau opioid kuat lainnya?

Morfin atau opioid kuat dapat menyebabkan tiga efek samping yang umum terjadi, yakni kantuk, mual/muntah, dan konstipasi. Untungnya, efek samping ini dapat dikelola dengan relatif mudah.

Mengantuk biasanya dialami ketika pasien baru pertama kali memulai pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan. Biasanya gejala ini akan membaik setelah beberapa hari. Kantuk yang persisten atau parah dapat dikurangi dengan mengurangi dosis atau menghentikan pengobatan.

Sedangkan, untuk mual dan muntah hanya memengaruhi satu dari tiga pengguna. Hal ini dapat diantisipasi dengan obat anti-muntah seperti metoclopramide, domperidone, atau ondansetron. Dalam jangka panjang, efek tersebut biasanya hilang setelah pasien terbiasa dengan pengobatan.

Konstipasi yang diinduksi opioid merupakan efek samping yang umum terjadi. Ini dapat dengan mudah dikelola dengan minum cukup cairan dan minum obat pencahar seperti senokot atau laktulosa.

SURVEI SEPUTAR KANKER

Silakan mengisi survei berikut ini untuk membantu kami menghadirkan informasi yang lebih baik kepada Anda.