Terkait hal tersebut, ada sejumlah pertanyaan umum yang kerap membingungkan masyarakat seputar nyeri kanker. Dr Kok Jaan Yang, konsultan senior pengobatan paliatif, akan menjawab 5 pertanyaan umum seputar hal tersebut.
Apa penyebab nyeri kanker?
Nyeri kanker umumnya disebabkan oleh kanker yang menyerang dan merusak di sekitar jaringan atau organ tubuh. Namun, tidak semua rasa sakit yang dialami pasien kanker stadium lanjut secara langsung disebabkan oleh kanker.
Diperkirakan 5-10 persen rasa sakit pada pasien kanker disebabkan oleh pengobatan kanker (misalnya nyeri ulkus mulut setelah kemoterapi tertentu) dan hingga 20 persen rasa sakit mungkin tidak berhubungan dengan kanker yang diidapnya (misalnya osteoarthritis lutut).
Apakah semua pasien kanker menderita nyeri kanker yang parah?
Tidak. Tidak semua pasien kanker mengalami nyeri kanker yang parah. Hingga 25 persen pasien kanker stadium lanjut mungkin tidak mengalami nyeri sama sekali, sementara sekitar 50 persen mungkin mengalami nyeri ringan hingga sedang.
Hanya sekitar 25 persen yang mengalami nyeri kanker parah, di mana 5 persen di antaranya akan sangat parah.
Bagaimana mengelola nyeri kanker?
Ahli onkologi medis yang mengelola perawatan Anda akan menilai penyebab nyeri kanker. Jika penyebabnya adalah massa tumor, dan dapat menyusut dengan radiasi, kemoterapi atau pengobatan anti-kanker lainnya dapat menjadi solusi.
Beberapa obat penghilang rasa sakit juga bisa membantu menghilangkan rasa sakit. Contohnya, parasetamol, obat antiinflamasi nonsteroid (misalnya diklofenak, naproxen, etoricoxib, atau celecoxib), dan opioid dosis rendah (misalnya tramadol).
Dalam kasus nyeri kanker yang parah, opioid kuat seperti morfin, oksikodon, atau fentanil dapat digunakan untuk mengendalikan rasa sakit. Pasien kanker yang mengalami nyeri neuropatik atau saraf juga dapat diresepkan obat tambahan lain seperti pregabalin atau gabapentin.
Apakah mengonsumsi morfin atau opioid kuat lainnya secara teratur untuk nyeri kanker dapat menyebabkan kecanduan?
Mengonsumsi morfin atau opioid kuat lainnya untuk mengendalikan rasa sakit bukanlah kecanduan. Di Singapura, pasien menggunakan morfin atau opioid kuat di bawah pengawasan dokter berpengalaman diketahui tidak menyebabkan masalah kecanduan.
Ketika nyeri kanker dapat dikurangi dengan cara lain (misalnya terapi radiasi untuk nyeri tulang kanker), dosis morfin atau opioid kuat dapat dikurangi secara signifikan, atau bahkan dihentikan.
Haruskah saya khawatir tentang efek samping morfin atau opioid kuat lainnya?
Morfin atau opioid kuat lainnya dapat menyebabkan tiga efek samping yang umum terjadi, yakni kantuk, mual/muntah, dan konstipasi. Untungnya, efek samping ini dapat dikelola dengan relatif mudah.
Mengantuk biasanya dialami ketika pasien baru pertama kali memulai pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan. Biasanya gejala ini akan membaik setelah beberapa hari. Kantuk yang persisten atau parah dapat dikurangi dengan mengurangi dosis atau menghentikan pengobatan.
Mual dan muntah hanya memengaruhi satu dari tiga pengguna. Hal ini dapat diantisipasi dengan obat anti-muntah seperti metoclopramide, domperidone, atau ondansetron. Dalam jangka panjang, efek tersebut biasanya hilang setelah pasien terbiasa dengan pengobatan.
Konstipasi yang diinduksi opioid merupakan efek samping yang umum terjadi. Ini dapat dengan mudah dikelola dengan minum cukup cairan dan minum obat pencahar seperti senokot atau laktulosa.