Dr Colin Phipps Diong/Parkway Cancer Centre.
“Kini, obat-obatan dapat menargetkan sel-sel tumor dan menggunakan sistem imun tubuh sendiri untuk membunuh mereka.”
Bagi pasien yang menderita subtipe tertentu dari kanker darah, seperti limfoma, mieloma, atau leukemia, suatu kelas obat yang dikenal sebagai antibodi monoklonal dapat menawarkan hasil yang lebih baik daripada pengobatan dengan kemoterapi saja.
Antibodi monoklonal adalah sel-sel imun yang dibuat di laboratorium yang mencari dan melekat pada sebuah protein, biasanya di permukaan sel kanker darah. Ia kemudian membunuh sel kanker dengan atau tanpa bantuan dari sel-sel imun pasien sendiri.
Kanker yang berbeda memiliki protein yang berbeda pula. Jadi, dengan mengidentifikasi jenis kanker yang diderita oleh seorang pasien, dokter dapat menggunakan obat yang menargetkan sel-sel kanker tersebut.
Dr Colin Phipps Diong, konsultan senior hematologi di Parkway Cancer Centre, memberi contoh sebuah obat yang disebut rituksimab, yang menargetkan protein CD20 pada sel-sel limfoma Non-Hodgkin sel B. Ia mengatakan bahwa obat ini telah mengubah perspektif pengobatan limfoma sel B karena efektivitasnya dan dapat dikombinasikan dengan kemoterapi.
Zat-zat yang lebih baru yang mengombinasikan kemampuan terarah dari antibodi monoklonal dengan zat sitotoksik juga maju ke garis terdepan. Brentuximab vedotin adalah salah satu contoh obat tersebut yang menargetkan protein CD30 yang dimiliki oleh limfoma Hodgkin.
“Ini adalah gabungan obat antibodi pertama yang memperlihatkan potensi yang begitu tinggi pada limfoma Hodgkin,” ujar Dr Phipps. Gabungan obat antibodi mengombinasikan antibodi monoklonal dengan zat toksik guna meningkatkan potensinya.
Antibodi monoklonal juga memberikan harapan dalam membantu orang dewasa yang mengalami leukemia limfoblastik akut (LLA) yang kambuh. Untuk pasien-pasien seperti ini, hasilnya tidak baik dengan tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan sebesar 10 persen dan median waktu kelangsungan hidup 4,5 bulan. Namun, protein CD22 tampak pada lebih dari 90 persen LLA sel B, sehingga memungkinkannya dijadikan target.
Sebuah penelitian multisenter dengan randomisasi telah memperlihatkan bahwa para pasien yang mengalami kekambuhan LLA, yang diberikan obat yang menargetkan CD22 menunjukkan durasi respons, kelangsungan hidup secara keseluruhan, dan kelangsungan hidup bebas perkembangan yang lebih lama bila dibandingkan dengan kemoterapi penyelamatan standar.
Antibodi monoklonal juga telah dikembangkan untuk mengobati pasien yang menderita multiple myeloma.
Saat ini, pengobatan utama untuk sebagian besar kanker darah adalah kemoterapi. “Kemoterapi sangat efektif karena ia membunuh sel-sel kanker yang membelah dengan cepat,” ujar Dr Phipps.
Namun, kemoterapi membunuh semua sel di dalam tubuh yang membelah dengan cepat sehingga menyebabkan pasien yang diobati dengan kemoterapi mengalami kerontokan rambut. Kemoterapi juga mempengaruhi sumsum tulang sehingga pasien akhirnya memiliki jumlah sel-sel darah yang rendah.
Dorongan untuk menemukan pengobatan yang lebih baik membawa kita pada pengembangan antibodi monoklonal, serta terapi terarah lainnya. Selain antibodi monoklonal, pengobatan imunoterapi lainnya meliputi antibodi bispesifik, penghambat checkpoint, terapi sel T reseptor antigen kimerik, dan transplantasi sel punca alogenik.
Pengobatan kanker darah menggunakan imunoterapi merupakan bidang yang berkembang di mana angka kesembuhan dan terapi baru semakin meningkat, ujar Dr Phipps. Ia menekankan bahwa sebagian besar pengobatan imunoterapi cukup aman, dapat ditoleransi, dan dapat digunakan pada pasien-pasien usia lanjut dimana kemoterapi akan dihindari.
“Tentu saja, lebih baru tidak selalu berarti lebih baik,” ia mengingatkan. “Sering kali respons yang sangat baik berasal dari gabungan imunoterapi plus kemoterapi.”